Sabtu, 20 April 2013

KABAR BAGUS KAWAN:



SITUBONDO, - Pemerintah Kabupaten Situbondo Jawa Timur berencana membangun museum mini untuk menyimpan sejumlah benda purbakala yang berhasil diselamatkan oleh Forum Pelestarian Cagar Budaya (FPCB) dari Hutan Baluran. Rencana untuk membangun museum mini itu disampaikan oleh Bupati Dadang Wigiarto usai menerima 17 benda purbakala oleh FPCB, Rabu (20/3/2013).

"Jika hasil peneli...tian yang dilakukan tim dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) di Jawa Timur sejumlah benda purbakala yang ditemukan FPCB itu memang benar benda purbakala, sesuai dengan usulan kepala Disparbudpora, kami berupaya untuk membangun museum mini, untuk menyimpan dan melestarikan benda purbakala tersebut. Dengan harapan, museum mini dijadikan tempat wisata sejarah untuk para pelajar di Kota Situbondo," ujar Dadang.

Menurut Dadang, rencana untuk membangun museum mini itu dengan latar belakang banyaknya temuan benda purbakala. Apalagi FPCB juga berjanji akan menelusuri sejarah dari sejumlah benda purbakala yang ditemukan. "Kami sangat mendukung upaya FPCB untuk menelusuri benang merah atau sejarah dari sejumlah benda purbakala yang berhasil diselamatkan tersebut. Yang pasti, rencana pembangunan museum mini itu masih menunggu hasil penelitian dari tim BPPP Jawa Timur," imbuhnya.

Juru bicara FPCB Situbondo, Irwan Rakhday mendukung rencana pembangunan museum mini, karena pihaknya berkeyakinan masih banyak benda purbakala yang tersimpan dan belum ditemukan. Sebanyak 17 benda purbakala yang diserahkan kepada Bupati berupa dua lesung batu, arca tembikar, empat unit keramik, tiga unit gerabah, keramik, tempat penyimpanan abu jenazah, kendi dan patung serta batu bata merah berukuran besar dengan panjang 36 centimeter, lebar 20 cm dan tebal 8 cm.

Ke-17 benda itu ditemukan Nihalil, warga Situbondo. Sebelumnya, FPCB juga menyerahkan Patung Ken Dedes yang ditemukan Misyono, pencari rumput.

Selasa, 16 April 2013

Analisis terakhir Penemuan Arca DI Situbondo

SITUBONDO - Patung yang ditemukan di Hutan Baluran Situbondo, Jawa Timur, pada 10 Maret 2013, dipastikan keasliannya sebagai benda purbakala. Patung tersebut dinyatakan sebagai Patung Dewi Laksmi dan peninggalan dari era Kerajaan Majapahit.
"Kami bersama Disbudpar Jatim menilai temuan arca itu bisa disimpulkan sebagai benda cagar budaya. Itu karena sudah memenuhi persyaratan sebagai ciri ciri patung Dewi Laksmi," tutur Kepala Balai Cagar Alam dan Penelitian Purbakala (BCPP) Jawa Timur Aris Soviyani, di Situbondo, Rabu (10/4/2013).
Tim gabungan dari BCPP Jawa Timur serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, datang ke Situbondo, menyusul temuan arca tersebut. Keaslian dan perkiraan era pembuatan patung merupakan hasil penelitian selama satu jam tim ini.
Aris menambahkan tim gabungan belum dapat memastikan usia patung Dewi Laksmi ini, karena belum meneliti dan mendatangi lokasi penemuan. Meski demikian, era pembuatan patung sudah dapat dipastikan di masa kerajaan kuno Majapahit Timur.
"Kalau bicara soal usia, kami tidak bisa memastikan karena tidak ada inspeksi. Namun jika ditilik di bagian belakang kepala patung itu memang peninggalan kerajaan Majapahit Timur," tutur Aris. Dia mengatakan pada masa lalu memang ada Kerajaan Majapahit Timur dan Kerajaan Majapahit Barat.
Bantuan teknis
Aris mengatakan tim gabungan sifatnya hanya memberikan bantuan teknis untuk meneliti keaslian dan asal-usul arca. Pemerintah Kabupaten Situbondo, ujar dia, belum memiliki Balai Museum sehingga tak bisa melakukan sendiri penelitian atas temuan yang diduga benda purbakala. "Jika di Situbondo ada Balai Museum, maka kewenangan itu ada di Pemkab Situbondo. Yang jelas kami hanya membantu  secara teknis saja," aku Aris.
Bersama Forum Pecinta Cagar Budaya (FPCB) Situbondo, ujar Aris, tim gabungan akan berupaya menentukan usia arca dengan melihat langsung lokasi penemuannya di Hutan Baluran. Langkah itu juga sekaligus dilakukan untuk menginventarisasi kemungkinan keberadaan arca lain.
"Ini karena bekas Kerajaan Majapahit Timur belum tersentuh sama sekali. Kami siap membantu Pemkab Situbondo untuk melakukan pencarian ke lokasi," kata Aris. Dia pun mengingatkan penemu arca ini berhak atas kompensasi yang besarannya akan ditentukan bersama oleh Disbudpar Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Situbondo.

Jumat, 12 April 2013

Paparan Data dan Temuan

Sejarah Masa Silam



Di masa silam, daerah Situbondo merupakan daerah penting di pantai utara bagian timur pulau Jawa. Sebab di kawasan itu terdapat pelabuhan-pelabuhan penting seperti Panarukan, Kalbut dan Jangkar. Malah kota Panarukan pada abad ke-14 merupakan salah satu pangkalan penting bagi kerajaan Majapahit. Di Panarukan sudah berdiri kerajaan Keta (nama itu abadi sebagai desa Ketah di kecamatan Suboh, Situbondo - pen). Untuk merebut Keta - sebagaimana dituturkan dalam Negarakretagama pupuh XLIX/3 – Majapahit melakukannya dengan kekuatan senjata.
Kawasan Situbondo di masa silam termasuk ke dalam wilayah Wirabhumi. Dilihat dari segi nama, dapat diasumsikan bahwa penduduk di kawasan Wirabhumi adalah orang-orang yang memiliki sifat ksatria yang gagah perkasa dan tidak gampang tunduk kepada siapa saja yang ingin menguasai mereka. Mereka adalah orang-orang yang memiliki harga diri dan kehormatan tinggi. Mereka adalah orang-orang yang ingin merdeka dari tekanan siapa pun yang datang dari luar.
Sejarah setidaknya telah mencatat bahwa di daerah Wirabhumi ini telah sering pecah peperangan. Perang terbesar yang pada gilirannya meruntuhkan Majapahit, yakni Perang Paregreg terjadi di kawasan ini. Sejak kekuatan Bhre Wirabhumi dihancurkan Wikramawardhana dalam Perang Paregreg, daerah Wirabhumi seperti "terlepas" dari kontrol Majapahit. Rakyat di daerah itu menyusun sejarahnya sendiri. Bahkan saat agama Islam sudah menyebar di pulau Jawa abad ke-16, kawasan Wirabhumi sepertinya tetap berada di dalam cengkeraman raja-reja lokal yang masih beragama Hindu.
Pada 1535 Masehi seorang musafir Portugis bernama Galvao mengunjungi Panarukan. Galvao mencatat bahwa masyarakat di kawasan itu masih beragama Hindu. Seminggu sebelum kedatangannya, demikian Galvao, ia mendengar cerita bahwa ada seorang janda yang baru saja membakar diri untuk ikut mati bersama suaminya. Pada 1546 Sultan Trenggana dari Demak menyerang Panarukan dan beliau gugur dalam serangan tersebut. Sekalipun harus ditebus dengan gugurnya Sultan Trenggana, namun Demak berhasil menguasai wilayah Panarukan. Agama Islam pun mulai berkembang di Panarukan. Tahun 1575 -- secara tiba-tiba -- Panarukan direbut oleh raja Blambangan, Santaguna, yang masih beragama Hindu.
Pada 1579 seorang romo Jezuit, Bernardino Ferrari mengunjungi Panarukan untuk melayani orang-orang Portugis yang tinggal di situ. Ia berlayar dengan kapal Portugis yang berpangkalan di Malaka. Di kota pelabuhan itu ia mendapat sambutan ramah. Raja Santaguna bahkan meminta, dengan perantaraan perutusan, supaya lebih banyak misionaris dikirim.
Kira-kira tahun 1585 romo-romo kelompok biarawan Capucijn dari Malaka yang beroperasi juga di Blambangan berhasil mentahbiskan seorang "imam berhala", saudara sepupu raja "kafir" (Santaguna) di situ menjadi orang Kristen. Beberapa waktu berselang, bangsawan yang telah dikristenkan itu dibunuh oleh rakyat (De Graef, l986).
Tahun 1596 raja Pasuruan melakukan serangan ke Panarukan yang saat itu dirajai oleh keturunan Raja Santaguna yang dipertahankan pasukan-pasukan dari Bali pimpinan Jelantik. Dalam suatu pertempuran yang sengit, pasukan Islam berhasil meraih kemenangan bahkan berhasil menewaskan Jelantik. Dan sejak tahun 1600 -- begitu menurut catatan sejarah -- Panarukan telah menjadi Islam.
Kisah-kisah sejarah di kawasan Wirabhumi -- jika dikaji secara cermat -- cukup banyak yang mengandung muatan "rekayasa" politik di dalamnya yang seringkali meletus dalam bentuk pertempuran besar yang mengakibatkan jatuhnya korban rakyat kecil. Kisah pemberontakan Patih Mangkubhumi Nambi di awal abad ke-14, misalnya, adalah hasil rekayasa dari tokoh Mahapatih yang berambisi menjadi Patih Mangkabhumi. Dengan suatu manuver politik yang rapi, Mahapatih berhasil menyudutkan Nambi sebagai pejabat yang akan mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Hasilnya, benteng Pajarakan yang menjadi basis kekuatan Nambi dihancurkan pasukan Majapahit. Nambi sekeluarga beserta pengikut-pengikutnya terbunuh. Dan Mahapatih, setelah peristiwa itu diangkat menjadi Patih Mangkubhumi Majapahit (Mulyana, l979).
Pada perempat akhir abad 16, menurut catatan sejarah daerah Situbondo tepatnya di sekitar Demung dan Ketah telah dijadikan ajang pertempuran akibat pertarungan antar kepentingan kelompok yang bersengketa dalam upaya merebut kekuasaan Mataram dari Amangkurat I. Dalam pertempuran itu, kekuatan Mataram yang berada di bawah perintah Amangkurat I berhadapan dengan pejuang Makassar yang secara rahasia berada di bawah perintah Adipati Anom, putera mahkota.
Menurut catatan Belanda dalam Daghregister 25 Januari 1674, Demung dekat Panarukan telah dijadikan benteng pertahanan oleh pasukan Makassar di bawah pimpinan Karaeng Bonto Marannu. Sejak Oktober 1674, orang-orang Makasar itu ditengarai telah menjadikan Demung sabagai tempat tinggalnya.
Pangeran Adipati Anom - putera mahkota Amangkurat I - yang mengincar kedudukan ayahandanya, rupanya telah menjalin hubungan rahasia dengan pimpinan warga Makassar di Demung yakni Karaeng Bonto Marannu. Dalam hubungan itu, terjalin pula sedikit hubungan antara orang-orang Makassar dengan Madura. Ini dikarenakan, Pangeran Adipati Anom juga menjalin hubungan rahasia dengan menantu Panembahan Rama yakni Trunojoyo dari Madura. Tetapi hubungan kedua kelompok itu tidak menjadi akrab dan tidak berlangsung lama pula. Itu disebabkan oleh kepentingan masing-masing terlalu banyak berbeda (De Graaf,l987).
Dalam catatan sejarah diketahui bahwa orang-orang Makassar di akhir 1674 dari pangkalannya di Demung telah melakukan penyerangan ke kota-kota di sepanjang pantai utara Jawa Timur. Kota pelabuhan Gerongan yang merupakan pelabuhan beras, misalnya, dalam waktu singkat dikuasainya. Mereka bahkan membunuh awak perahu milik warga Batavia Struys. Anehnya, para pejabat Mataram di kawasan pantai utara tak menunjukkan reaksi melihat daerahnya dilanda kerusuhan.
Menurut De Graaf (l987) Pangeran Adipati Anom rupanya telah memberikan perintah agar para pejabat Jawa tidak mengambil tindakan terhadap orang-orang Makassar yang melakukan penyerangan dan perampasan itu. Kepatuhan para penguasa setempat -- yakni bupati-bupati di daerah Surabaya dan Gresik -- atas perintah Pangeran Adipati Anom itu ternyata berakibat fatal. Sebab Sunan Amangkurat I kemudian memerintahkan agar para pejabat itu dibunuh.
Sejarah memang mencatat bahwa dalam proses suksesi atas kekuasaan Amangkurat I itu, telah terjadi berbagai macam rekayasa politik yang mengorbankan nyawa rakyat kecil yang terombang-ambing oleh ketidak-pastian angin kekuasaan. Para pejabat daerah setingkat bupati dihadapkan pada pilihan untuk patuh pada dua jalur perintah yang bertolak-belakang yakni perintah dari putera mahkota dan perintah sunan.
Akibat dari manuver politik yang makin lama makin transparan itu, Pangeran Adipati Anom pada gilirannya dituduh mau merebut kekuasaan selagi ayahandanya masih berkuasa. Karena itu, ia dibenci oleh Sunan yang sudah tua itu, dan adiknya Pangeran Singasari ditetapkan sebagai pengganti ayahnya. Pangeran Puger dan Pangeran Sampang, memang telah menyatakan dukungan terhadap Pangeran Adipati Anom sebagai pengganti ayahnya, tetapi banyak pangeran lain yang bersumpah akan mendukung keputusan Sunan.
Kekisruhan situasi akibat proses suksesi dewasa itu berlangsung di mana-mana. Kekacauan yang pecah di pedalaman Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, dikendalikan oleh Trunojoyo yang berpangkalan di Kediri. Sedang kekacauan di pantai utara Jawa Timur dan sebagaian Jawa Tengah dikendalikan oleh orang-orang Makassar di bawah Karaeng Bonto Marannu, Karaeng Galesong, Karaeng Tallo, dan sebagainya.
Menurut Jonge (dalam De Graaf, 1987) Sunan Amangkurat I yang marah karena merasa dikhianati putera mahkota itu mengirimkan 100 perahu perang ke Demung dengan membawa pasukan ribuan orang. Pasukan dipimpin Raden Prawirataruna dan Rangga Sidayu. Kekuatan laut Mataram itu kemudian bergabung dengan armada Belanda pimpinan Jan Franszen. Dan antara 17 - 24 Mei 1676 terjadi pertempuran antara pasukan Jan Franszen dengan pasukan Makassar di Demung. Sedang pasukan Rangga Sidayu bertempur di Keta. Namun dalam serbuan itu, pihak Mataran mengalami kehancuran dan panglima-panglima perangnya tewas dengan cara mengenaskan.
Rekayasa yang dilakukan oleh Pangeran Adipati Anom untuk merebut kekuasaan ayahandanya itu pada akhirnya memang berhasil sukses. Sebab setelah terjadi kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah yang akhirnya marak ke ibukota Mataram hingga Amangkurat I yang rambutnya sudah penuh uban itu mengungsi dan kemudian mati di Wanayasa tepatnya di Tegalwangi sebagaimana ditulis dalam Babad Tanah Jawi, maka Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi raja Mataram. Namun dalam catatan Valentijn (dalam De Graaf, 1987) disebutkan bahwa untuk mempercepat matinya Sunan Amangkurat I dalam pengungsian itu, putera mahkota yakni Pangeran Adipati Anom telah memberikan sebutir pil.
Terlepas dari keberhasilan Pangeran Adipati Anom dalam melakukan rekayasa untuk merebut kekuasaan dari ayahnya, yang jelas akibat dari rekayasa itu adalah kehancuran daerah di sekitar Demung dan Ketah akibat perang dan kerusuhan. Bahkan tidak terhitung berapa jumlah korban yang harus mati dalam rekayasa itu. Yang jelas, korban itu umumnya adalah rakyat pedesaan dan prajurit-prajurit rendahan.
Berdasar uraian di muka, terdapat suatu petunjuk bahwa masyarakat di kawasan ini adalah komunitas yarg sangat fanatik terhadap agama yang dianutnya, sekaligus memiliki kecenderungan nativis yakni enggan menerima pengarah dari luar yang tidak sesuai dengan budaya mereka yang heroik yang terbentuk oleh latar sejarah mereka yang penuh diwarnai peperangan dan rekayasa politik.

Minggu, 07 April 2013

SITUS PATUKANGAN: MUNGKINKAH BENTENG PAJARAKAN


oleh: Irwan Rakhday

Secara geografis, Situs Patukangan yang berupa reruntuhan batu bata kuno sepanjang 1,5 km dan 1 km letaknya tak jauh dari muara Panarukan.Wilayah tersebut merupakan pusat aktifitas sejak masa klasik hindu-budha. Dalam kitab negara kertagama disebutkan tentang eksistensi wilayah kadipaten Patukangan yang adipatinya adalah Suradhikara. Adipati Suradhikara adalah pemimpin upacara saat penyambutan Raja Hayam Wuruk saat melakukan audensi dengan para raja-raja kecil pada tahun 1359 M.
Yang menjadi tanda tanya saat ini adalah tinggalan arkeologisnya yang menunjukkan sebuah struktur batu bata memanjang. Tentu bukan sebuah bangunan biasa. Jika itu sebuah benteng, apakah nama bentengnya.?
Dari referensi sejarah yang ada, Patih Nambi yang menyerang Majapahit pada 1316 M disebut membangun benteng Pajarakan.Tetapi hingga saat ini, di Kecamatan Pajarakan di kab.Probolinggo tidak ditemukan tinggalan arkeologis berupa struktur batu bata semacam di Panarukan.
Lantas dimanakah letak benteng Pajarakan? Apakah benteng Pajarakan yang dihancurkan pasukan Majapahit itu adalah yang terletak di Panarukan sekarang? Sedangkan nama Patukangan sendiri apakah baru ada sejak pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang naik tahta pada 1350 M dan dicantumkan dalam Kitab Negara kertagama? Sebab sebagaimana lazimnya sebuah orde/pemerintahan yang baru atau yang menggantikan pemerintahan sebelumnya terkadang harus menghilangkan sebuah nama tempat denga maksud menghapus spirit perlawanan di lokasi itu.Namun nama Pajarakan saat ini menjadi nama sebuah kecamatan yang dulu saat Raja hayam Wuruk melakukan perjalanan juga disinggahinya.

Patung dewi tara

Kamis, 28 Maret 2013

Link tentang kisah sejarah situbondo

Berikut adalah beberapa link yang didalamnya tercantum kisah-kisah dan paparan serta foto-foto tentang Besuki, Situbondo, Panarukan, Ketah dan sebagainya.

  • Hasil Searching foto-foto masa silam dalam KITLV Digital Media (netherland)

  • katalog batik tulis (Pictures of the tropics : a catalogue of drawings, water-colours, paintings, and sculptures in the collection of the Royal Institute of Linguistics and Anthropology in Leiden)


  • karya tulis yang mencantumkan Nama Rengganis dan disimpan di Musium